Mengunjungi Petani Kopi di Coban Parang Tejo

Loading

Oleh : Hanif NHA


Saya, Tiok dan Bayu – Pemilik Kedai Nadi (Kopi dan Rempah) bergerak menuju Kabuapaten Malang menggunakan sepeda motor matic putih. Rencananya kami akan berkunjung ke Coban Parang Tejo, menuju rumah Pak Madrib – Petani Kopi yang kopinya didistribusikan untuk kedai-kedai kopi di Malang, salah satunya Kedai Nadi yang mengusung konsep berupa kopi dan rempah. Menarik bukan, sebuah kedai menyediakan kopi berpadu sekaligus minuman rempah?


Mandi dan sarapan sudah, selanjutnya kami bergegas packing mempersiapkan perlengkapan yang akan kami butuhkan untuk bersederhana dan lebih dekat dengan alam Coban Parang Tejo. Tiok membawa satu tas ransel miliknya, dan Sam Bayu memakai satu daypack merk Consina untuk diletakkan di bawah kaki supir yang cukup untuk meletakkan barang-barang berukuran sebesar tas carrier. Helm hanya terdapat satu di Kedai, kami sepakat untuk menggunakan topi untuk menggantikan helm sebagai penanda kami menggunakan pengaman, sebenarnya ya  bukan pengaman, hanya saja lebih tepatnya memang kami membutuhkan topi untuk berteman dengan sengatan matahari yang langsung menerpa rambut di atas kepala.

Tiok dan Sam Bayu menikmati suasana di Coban Parang Tejo. Dok. Hanif NHA

Sebab Kedai harus tetap ada yang jaga, Mawar – partner Sam Bayu dalam berbisnis sekaligus mengembangkan kedai harus berjaga selama saya, Tiok dan Sam Bayu pergi ke Coban Parang Tejo. Kedai Nadi yang pada tanggal 17 Januari yang lalu genap berusia satu tahun ini mengklaim rumahnya sebagai kedai sederhana, perpustakaan dan kebun permakultur, sekaligus juga rumah produksi.

Tawaran untuk mengunjungi Coban Parang Tejo ini memang sudah dibicarakan sejak malam harinya. Sam Bayu yang berinisiatif menawarkan pada saya dan Tiok yang datang dari Klaten pada Selasa, 11 Agustus 2020 dan sudah tiga hari menginap di Kedai miliknya menjadikan kami turut serta sedikit banyak berbaur dengan para pengunjung dan kebun permakultur yang berada di belakang kedai.

Kedai yang terletak di Jl. Pisang Kipas No.24-23, Jatimulyo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur  ini cukup memudahkan kami untuk mempercepat waktu menuju Dusun Princi, Desa Gading Kulon, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, tempat dimana Coban Parang Tejo berada.   

Jalanan yang kami tempuh adalah jalan tembus atau dengan kata lain bukan jalan raya yang sering dijaga oleh polisi sehingga kami bebas melenggang tanpa takut ditilang. Kami melenggang tepat pukul 10.45 WIB dari Kedai menuju ke Coban Parang Tejo. Dalam kondisi wabah pandemi yang masih berjalan, saya cukup yakin bahwa ketika nanti tiba di lokasi, pasti akan sangat sepi dan kami bisa lebih dekat dan intim berkomunikasi dengan alam.

Kami melewati satu persatu pemukiman warga, hingga kemudian mencapai jalan menanjak yang di sekelilingnya berderet ladang-ladang warga yang ditanami berbagai macam tanaman buah dan sayur mayur, salah satu yang sangat terlihat adalah pohon jeruk. Cuaca yang cerah, membuat kami tidak berjumpa dengan kabut yang biasa menghiasi rumah-rumah warga ketika musim penghujan datang. Setidaknya akan sangat mudah menjumpai kabut tipis saat pagi baru bermula dan sore menjelang petang.

Suasana di sekitar Coban Parang Tejo. Dok. Hanif NHA

Kami bertiga menaiki satu motor, dalam kondisi jalan menanjak tentu harus memainkan gas dengan baik supaya tidak mengharuskan salah satu penumpangnya turun untuk mengurangi beban. Ya, yang namanya motor matic tentunya juga memiliki kelemahan meski dapat memuat barang yang lumayan di bagian depan. Saya sempat mengeluarkan smartphone dan mengabadikan momen anak-anak seumuran sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang sedang megendarai motor yang sudah dimodifikasi khas masyarakat lereng perbukitan. Motor bebek yang sudah diganti rodanya dengan roda motor trail yang siap untuk menembus tanah dan batu-batu keras guna memudahkan akses warga pergi dan pulang dari rumah menuju ladangnya dan kembali lagi ke rumah.

Saya benar-benar terpaksa turun karena tikungan tajam menyendat laju motor yang dikemudikan oleh Sam Bayu, “Jak, turun dulu ya, itu lho tanjakannya mantep”, pinta Sam Bayu. “Okelah Sam, aku turun”, saya melangkah perlahan di belakang, membiarkan Sam Bayu dan Tiok melaju lebih dulu di depan, sampai nanti ketika jalan sudah landai saya akan mendekat dan membonceng lagi, kasihan juga motornya, sudah kecil dibuat boncengan bertiga.

Coban Parang Tejo hari itu sangat-sangat sunyi, hanya dua kali kami menjumpai warga yang sedang bercocok tanam di ladangnya. Bahkan kami tak menemui petugas yang biasa berjaga di pos registrasi untuk mengurus tiket masuk ke kawasan wisata. Jadilah kami ‘nyelonong’ masuk karena sebelumnya sudah izin ke warga dan mengatakan mau bertemu Pak Madrib di ladangnya, juga informasi yang kami dapatkan dari istri beliau ketika kami mendatangi rumahnya, bahwa beliau sedang di ladang.

Motor diparkir tepat di depan gazebo kecil yang dibangun di samping pohon cemara, dari tempat kami sekarang berdiri terlihat lanskap berupa bentang alam yang sangat hijau dan menyejukkan. Saya sudah tak sabar ingin segera menuju ke air terjun. Sungguh, keanekaragaman yang harmoni. Aroma tanah yang lembab dan desir angin yang menggelitik tubuh seperti memberi sambutan sederhana pada pendatangnya. semoga kami diterima dengan baik, sebab niat awal kami memang bukanlah sesuatu yang buruk, pertama, kami ingin menemui Bapak yang hasil kopinya selalu diambil Sam Bayu dan kedua, ingin sedikit lebih dekat dengan alam.

    Berjalan paling belakang saya berhasil mendokumentasikan kesunyian rimba raya dari hiruk-pikuk manusia, jalan setapak yang kami lalui cukup baik kondisinya dan tidak butuh waktu lama untuk kami bisa menjumpai ladang milik Pak Madrib, ada yang khas disini, warga yang memiliki ladang kemungkinan besar memiliki hewan peliharaan. Sepeti Pak Madrib yang memelihara anjing. Anakan anjing berjenis rottweiler tersebut kemudian menjadi beringas karena kedatangan ‘tamu asing’. Ya, kamilah tamunya. Sam Bayu langsung mendekati Bapak bersama Tiok, saya masih sibuk mengarahkan kamera untuk menangkap gerak-gerik anjing yang dipanggil oleh Pak Madrim dengan panggilan Mendol (Olahan tempe yang hampir busuk) yang memiliki ciri fisik berbadan pendek, kekar  dan berwarna hitam menjadikan aura sangar muncul dari perangainya.

    Kami bercengkerama dengan Bapak dan membicarakan matinya beberapa pohon kopi dan alpukat sebab banjir pertengahan Desember tahun 2019. Sesekali juga menyentil kasus matinya seekor lutung jawa (Trachypithecus auratus) di Hutan Lindung yang ada di Dusun Princi, tepatnya berada di jalur pendakian menuju puncak Cemoro Kandang. Berita naas itu sampai membuat gempar orang-orang elit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saya mengetahui dari ‘mbah google’ bahwa tim ProFauna (organisasi independen non profit yang bergerak dibidang perlindungan hutan dan satwa liar) dan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Jawa Timur, Perhutani dan warga Dusun Princi pada 11 Agustus 2020 mendatangi tempat kematian tragis Lutung jawa tersebut. Spesies ini berstatus dilindungi berdasarkan undang-undang Republik Indonesia sejak 1999. 

    Miris memang, saat berbicara tentang kehidupan manusia yang lebih sering merusak habitat tempat satwa hidup dan berkembang biak, lebih lagi bahkan memburu dan menyakiti satwanya untuk diperdagangkan secara ilegal dan yang lebih menyedihkan adalah dikonsumsi karena kepercayaan yang tidak bisa dijelaskan melalui uji klinis, alasannya paling sering adalah untuk meningkatkan vitalitas dan sesak nafas. Kembali lagi pada manusia, alam akan tetap baik-baik saja tanpa manusia, begitu juga dengan satwa. Manusia adalah ‘hewan’ paling rakus yang pernah ada. Seperti lirik lagu milik solois kurang terkenal (skuter) yang akrab disapa Mas Iksan Skuter, 

    Manusia itu binatang
    Yang diberi akal pikiran
    Yang suka menumpuk harta dan semuanya
    Manusia itu binatang
    Penguasa rantai makanan
    Makhluk karnivora juga herbivora
    Binatang yang paling merusak
    Binatang yang paling serakah
    Adalah manusia
    Manusia itu binatang
    Perusak peradaban zaman
    Yang berfoya-foya dan suka pesta-pora
    Binatang yang paling merusak
    Binatang yang paling serakah
    Binatang yang paling merusak
    Binatang yang paling serakah
    Adalah kita semua.
    Aku, kamu, kita, kalian
    Semua adalah binatang.

    Usai bercengkerama kami bergerak ke jalur setapak yang menuju ke arah air terjun, kami pamit pada Bapak dan beliau berpesan untuk singgah di rumahnya sepulang dari berkomunikasi lebih intim dengan alam Coban Parang Tejo, kami mengiyakan dan melanjutkan perjalanan.

    Setelah usai mendapati gemericik air masuk ke gendang telinga, saya bergegas mengamati area sekitar. Benar adanya, pandemi memberi dampak positif untuk pengembalian ekosistem di lingkungan Coban Parang Tejo.

    Musim penghujan belum datang, tapi air terjun Parang Tejo tetap mengalir dari tebing setinggi 10 sampai 12 meter. Tidak ada manusia lain ketika kami tiba, hanya kicauan burung di tajuk-tajuk atas pepohonan, kami senang karena sepi kami bisa lebih khidmat bermeditasi.

    Seperangkat alat memasak air kami siapkan, tentunya bukan kompor mini dan gas yang kami bawa, kami memang berencana untuk membuat perapian kecil supaya lebih terasa wild dengan memanfaatkan ranting-ranting pohon dan daun-daun yang berguguran. Saya sibuk menyiapkan perapian, Tiok dan Sam Bayu mengumpulkan ranting dan daun yang tergeletak di sekitar batu besar tempat kami meletakkan barang bawaan.

    Api sudah menyala, sebuah panci untuk memasak air disiapkan, tiga cangkir untuk kopi sudah tak sabar berjumpa dengan hangatnya air panas dan kami menunggu air matang sembari menikmati udara segar dari rimba yang mengandung invetasi oksigen untuk kini, esok dan selamanya.

    Asap membumbung dan bergerak mengikuti arah angin, Tiok dan Sam Bayu saling becengkerama, keduanya usai menyesap kopi yang sudah tidak panas. Tenang, barangkali masa muda adalah masa yang baik untuk diisi dengan hal-hal yang ingin terus dicapai, dibagi dan digali. Tidak perlu menunggu menjadi seseorang untuk melakukan sebuah perjalanan yang bermakna, karena kemanapun langkah kaki melangkah, asal diawali dengan niat baik langkah-langkah itu akan bertemu tangan-tangan yang tak segan membantu tanpa pamrih. Tenang, Pencipta alam semesta akan merawat dan mengasihi semua makhluk, tak terkecuali kita;manusia.

    Kopi sudah habis, berbatang-batang rokok kretek alami khas Sam Bayu seharga 6000 rupiah menyisakan abu dan puntung yang ikut terbakar di perapian. Saya teringat bekal kami untuk makan siang, Tiok menyimpan dua bungkus indomie yang bisa dinikmati sessat untuk mengembalikan tenaga. Lagi, panci dituang air dan diletakkan diatas perapian, kami masih ditemani burug-burung dengan nyanyiannya dan gemericik air yang jatuh menghujam ke tanah dan bebatuan. 

    Coban Parang Tejo : Bercengkrama tentang peternakan Sapi Friesian Holstein di kandang milik tetangga Pak Madrib. Dok. Hanif NHA

    Perjalanan kerap membuat seseorang menjadi lebih kreatif, setidaknya itu yang terjadi saat kami berusaha menyiapkan sumpit untuk menyantap mie berkuah yang ada di dalam panci, bermodal orientasi ke sekitar lingkungan, memungut beberapa ranting dan mengulitinya hingga bagian dalam, hingga jadilah sumpit alami dari ranting kayu. Seperti ingin mengucapkan, “Sang Maha Pencipta Alam Semesta sudah menyediakan segalanya, tinggal bagaimana kita berfikir untuk mengelolanya.”

    Kami bertiga merapikan barang-barang, waktu sudah sore, hawa dingin sedikit menusuk ke pori-pori kulit, langit tetap cerah dan nampaknya kabut akan segera hadir, kami kembali ke parkiran dan bergegas menuju rumah Bapak, disana kami sempat menyantap hidangan sederhana ala pedesaan dan menikamti minuman fermentasi buatan Bapak, juga berbincang dengan tetangga Bapak yang mempelihara beberapa ekor sapi Friesian Holstein. Saya dan Tiok sepakat untuk membeli susu satu liter untuk diminum di Kedai Nadi.

    Coban Parang Tejo : Mengunjungi Peternakan Sapi Friesian Holstein tetangga Pak Madrib. Dok. Hanif NHA dkk

    Sore selepas sholat di masjid terdekat kami pamit kepada Pak Madrib dan istrinya untuk pulang ke Kota, terimkasih untuk sedikit perapian, penyusuran sungai, perbincangan dengan petani dan peternak yang memberikan  pembelajaran tentang kopi, satwa dan masyarakat desa yang hidup sederhana dan selalu bersemangat menggarap ladangnya. Berkah dan sehat selalu masyarakat Dusun Princi, salam untuk rimba Coban Parang Tejo yang menenangkan. [End]

    Bagikan artikel